3.12.2016

Sampaikanlah Walau Satu Ayat

Sampaikanlah Walau Satu Ayat
Mengapa para sufi “terkesan” (kesan itu bisa jadi benar bisa jadi salah) menutup diri dan memilih-milih “murid” dalam memberikan bimbingan, sedangkan kita diwajibkan untuk menyebarkan kebaikan walau hanya satu ayat? Mengapa tidak ber”syiar” seperti para ulama atau mereka yang mengaku-ngaku sebagai ulama?

Sebenarnya bukan pilih-pilih murid, yang terjadi sebenarnya mekanisme natural, bahwa makanan itu baru bermanfaat jika diberikan kepada orang yang memang lapar atau membutuhkan. Sayang sekali jika kita memberikan makanan kepada yang memang tidak membutuhkan. Bisa diterlantarkan sampai menjadi busuk, dibuang, atau bahkan membuat muntah yang bersangkutan. Padahal masih banyak sekali orang selain dia yang benar-benar membutuhkan makanan.

Orang yang tidak lapar tentu tidak merasa butuh makanan. Orang yang merasa sehat, tentu tidak merasa butuh dokter. Orang yang merasa sudah tahu agama, tentu tidak merasa butuh belajar agama. Orang yang tidak merasa lapar (akan pengetahuan) tentang Allah, tentu tidak akan merasa butuh belajar tentang Allah.

“Sampaikanlah walau satu ayat,” itu hadits shahih, benar sekali. Tapi sampaikan kepada penerima yang tepat (yang memang membutuhkan), dan waktu yang tepat.

Kalau di hadapan jendela samping sebuah rumah, kita taruh corong toa mesjid dan kita bombardir dengan ceramah, pengajian, dan dzikir "keras-keras" setiap pagi, siang, atau sore tanpa henti dengan mengatasnamakan dakwah, bisa jadi sebenarnya kita justru mendzalimi penghuni rumah. Siapa tahu di sana ada bayi sakit, orang tua, atau suami yang baru pulang kerja dan lelah, sehingga gangguan itu malah membuatnya sensitif dan marah-marah pada anak istrinya.

Selain itu, pada orang-orang yang memang telah menerima tugas dari Allah ta’ala (mengenal dirinya) ada ruang lingkup dakwahnya sendiri, dan Allah sendiri yang menentukan. Tidak semua para peraih kebenaran harus menjadi da’i dan tampil di depan umat.

Ada yang memang tugasnya menjadi rasul alam semesta (Muhammad SAW), menjadi rasul bangsa tertentu saja (Musa AS, Isa AS, dll), menjadi mursyid untuk orang tertentu saja, yang muridnya itulah yang justru harus menjadi nabi (Syu’aib AS). Ada yang harus menjadi panglima perang (Sa’ad bin Abi Waqqash, Khalid bin Walid). Ada yang harus menyampaikan khazanah ilahiah melalui puisi (Jalaluddin Rumi). Ada yang harus membuat buku (Al-Ghazali). Ada yang harus membuat buku dan menyampaikan ilmu ketuhanan yang rumit dan tidak untuk masyarakat biasa (Ibnu Arabi). Ada yang harus menjadi mursyid dengan penampilan mewah seperti sultan (Syaikh Abdul Qadir Jailani). Ada yang harus terlunta-lunta, sakit kulit, dan menggelandang seperti Nabi Ayyub AS. Ada pula yang diciptakan untuk kaya raya dan berkuasa seperti Sulaiman AS. Ada yang harus menjadi ibu saja, dan anaknya yang kelak menjadi seorang nabi. Apa menjadi ibu rumah tangga, yang mengabdikan diri pada Allah dengan cara mencurahkan seluruh dirinya untuk anaknya seperti Siti Maryam, di mata Allah "tidak keren"?

Banyak sekali ragam jalan pengabdian, tugas dan kemisian, demi menyampaikan -dan menampilkan- suatu khazanah Ilahiah. Justru jika seorang diciptakan sebagai, misalnya, seorang ayah yang brilian bagi anak-anak, namun ia malahan tampil di depan podium dan berdakwah dengan cara klasik, ia justru menyalahi kehendak Allah bagi dirinya. Ia menyalahi tujuan penciptaannya. Bukan berarti orang-orang ini tidak berdakwah. Tapi, apa bentuknya: bicara, berbuat, berfikir, menulis, menyumbang harta, atau memimpin? Allah yang menentukan. Juga, ruang lingkupnya untuk siapa, untuk umatkah, bangsa tertentukah, orang tertentukah, atau cukup untuk keluarga, mungkin bahkan cukup hanya untuk dirinya sendiri.

Mereka yang tampil di podium dan berdakwah, atau mereka yang bersurban dan berjubah, tidak berarti mereka menjadi lebih alim, lebih ulama, dan lebih saleh daripada mereka yang tidak tampil di podium dan berpenampilan biasa-biasa saja. Sama sekali tidak. Ukuran kesalehan dan kealiman sama sekali bukan pada tampilan lahiriyah seseorang. Dan, berdakwah untuk ribuan umat sekaligus belum tentu lebih efektif dan lebih "berpahala" (jika masih menghitung pahala) daripada berdakwah pada beberapa orang saja. Bukan jumlahnya, tapi sejauh apa jiwa manusia bisa tertransformasi dengan khazanah Ilahiah yang ada pada diri kita. Walau hanya satu orang.

Kita ingat ayat yang bunyinya, “Barangsiapa membunuh satu jiwa, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa menghidupkan satu jiwa, ia bagaikan menghidupkan seluruh jiwa manusia.” (QS Al-Maa’idah [5] : 32)

"Menghidupkan jiwa", secara batin juga berarti membebaskan jiwa manusia dari timbunan sifat jasadiyah dan keduniaannya sendiri.

Banyak orang-orang yang dicintai Allah tapi tidak tampil secara terbuka di podium untuk berdakwah, karena memang bukan tugasnya. Dia dimudahkan pada bidang lain, tidak di bidang itu. Terpenting, orang-orang seperti ini tidak berdakwah hanya dengan kata-kata atau sekedar mengutip ayat. Mereka benar-benar mengerti apa yang mereka bicarakan dan lakukan. Juga, mereka berdakwah "bil hal", dengan perbuatan. Tapi yang paling jelas, akhlak, perbuatan maupun khazanah mereka semua sama: Al-Qur’an, Al-Haqq dan kebenaran, meski mulut mereka belum tentu gemar mengutip, mendiktekan maupun "berdakwah" ayat-ayat kepada umat di depan podium.

Disalin ulang dari tulisan Herry Mardian dengan perubahan seperlunya

Sampaikanlah Walau Satu Ayat Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 comments:

Posting Komentar